Apakah upaya restorasi lahan gambut untuk mengatasi kebakaran dan kabut asap di Indonesia mempengaruhi keanekaragaman hayati dan hasil kelapa sawit di perkebunan rakyat?

Posting ini juga tersedia dalam bahasa Inggris di sini.

Drainase lahan gambut untuk memungkinkan budidaya tanaman perkebunan, termasuk kelapa sawit, sebelumnya telah dikaitkan dengan bencana kebakaran dan kabut asap, yang menyebabkan kematian, penyakit, dan kerugian finansial. Dalam penelitian terbaru mereka, Warren-Thomas dan rekan mencari tahu apakah inisiatif restorasi gambut mempengaruhi hubungan timbal-balik antara keanekaragaman hayati dan hasil kelapa sawit di perkebunan rakyat.

Lahan gambut tropis – penyimpan karbon dan keanekaragaman hayati

Gambut, tanah kaya karbon yang terbentuk dari vegetasi yang terdekomposisi Sebagian dalam kondisi basah permanen, dapat membentuk endapan setebal beberapa meter dengan luas ribuan kilometer persegi di lingkungan tropis. Hutan rawa gambut, penuh dengan spesies pohon khusus yang dapat beradaptasi dengan tanah masam dan genangan permanen, yang tumbuh di atas tanah gambut ini, menambahkan serasah daunnya ke cadangan karbon yang perlahan terakumulasi di ataspermukaan gambut yang sudah ada.

Tumbuhan kantong semar yang tumbuh di hutan rawa gambut, Jambi, Sumatera (Foto: Eleanor Warren-Thomas).

Di Indonesia, hutan-hutan ini juga mendukung spesies satwa liar dan tumbuhan endemik yang dilindungi, mulai dari orangutan dan siamang hingga mikroba, menjadikan perlindungan mereka kunci konservasi keanekaragaman hayati. Permintaan lahan diiringi upaya untuk membuka hutan dan mengalirkan air dari lahan gambut dalam berbagai skala, mulai skala industri sampai skala pertanian rakyat. Namun, drainase berakibat pada karbon gambut, yang sebelumnya aman dari dekomposisi karena berada dalam keadaan terendam, terpapar ke udara melepaskan karbon dioksida.

Emisi dari lahan gambut yang terdekomposisi berkontribusi terhadap perubahan iklim, yang berarti bahwa konservasi gambut sangat penting untuk upaya mengurangi pemanasan global. Gambut yang didrainase juga sangat mudah terbakar: kebakaran yang dilakukan untuk membersihkan lahan dapat dengan mudah menjalar ke dalam tanah dan pembakarannya bisa bertahan berbulan-bulan, melepaskan asap beracun dalam prosesnya. Selama peristiwa ENSO, ketika curah hujan rendah di seluruh Asia Tenggara, kebakaran gambut dan kabut asap cukup parah hingga menutup bandara, menyebabkan masalah kesehatan, dan kematian.

Upaya-upaya di Indonesia untuk menahan air di lahan gambut, antara lain oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove dengan memberlakukan peraturan baru tentang kedalaman muka air yang harus diikuti oleh perusahaan yang memiliki perkebunan di lahan gambut. Kedalaman muka air tanah pada titik pengamatan yang direkomendasikan adalah -40 cm di bawah permukaan tanah.

Pengelolaan saluran drainase, Indonesia (Foto: Eleanor Warren-Thomas).

Bagaimana upaya restorasi gambut mempengaruhi budidaya lahan gambut – dan apa hubungannya dengan keanekaragaman hayati?

Mengurangi drainase gambut menggunakan penutup kanal saluran drainase, dan menaikkan muka air tanah supaya lebih dekat ke permukaan. Hal ini dapat mempengaruhi hasil panen kelapa sawit, yang dapat berdampak negatif terhadap mata pencaharian petani kecil. Perkebunan yang lebih basah dan lebih berbentuk rawa juga dapat memengaruhi keanekaragaman hayati, karena mengubah cara petani mengelola kebun sawit mereka.

Kebun sawit rakyat, di Jambi, Sumatra (Foto: Eleanor Warren-Thomas).

Sudah diketahui bahwa ada trade-offs antara nilai keanekaragaman hayati dan hasil kelapa sawit, tergantung intensitas pengelolaan kebun: misalnya, perkebunan rakyat dengan semak yang kompleks cenderung mendukung lebih banyak spesies burung.

Meneliti keanekaragaman burung dan hasil kelapa sawit di Provinsi Jambi, Sumatera

Kami telah meneliti apakah variasi kedalaman muka air tanah pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut mempengaruhi hasil panen, vegetasi tumbuhan bawah, dan spesies burung yang ditemukan hidup di sana, di 40 perkebunan di seluruh lanskap di provinsi Jambi, Sumatera. Karena kami tidak dapat melakukan studi sebelum-sesudah pengelolaan muka air, kami menemukan lokasi di seluruh lanskap studi di mana muka air sudah berbeda karena perbedaan tingkat drainase dan pengelolaan kanal. Kami juga menyelidiki kedalaman muka air tanah dan spesies burung di area sekitar hutan gambut, Hutan Lindung Gambut Sungai Buluh, untuk mengetahui berapa banyak spesies burung pada perkebunan kelapa sawit dan hutan, dan bagaimana drainase mempengaruhi permukaan air.

Tandan buah kelapa sawit (Foto: Eleanor Warren-Thomas).
 

Di setiap kebun yang petaninya setuju berpartisipasi, kami mengambil contoh gambut menggunakan bor, dan memasang pipa pengukur muka air. Kami mencatat beberapa variabel kompleksitas tumbuhan bawah, dan mensurvei burung dengan melakukan penghitungan pada titik pewakil. Terakhir, kami melakukan wawancara dengan para petani untuk mengetahui hasil panen kelapa sawit mereka, serta bagaimana mereka mengelola kebun mereka.

Suasana rumah salah seorang pekebun sawit, Jambi, Sumatra (Foto: Eleanor Warren-Thomas).

Kedalaman muka ait tanah pada perkebunan rakyat relatif dangkal, dan variasinya tidak mempengaruhi hasil 

Temuan kunci dari penelitian berbulan-bulan dengan cara menggali, menghitung, mengukur, meniup gelembung ke tabung, dan berbicara dengan banyak petani yang merelakan waktu mereka, adalah bahwa kedalaman muka air tampaknya tidak mempengaruhi hasil kelapa sawit, atau keanekaragaman burung di kebun. Rata-rata tahunan kedalaman muka air tanah di lanskap ini berkisar antara -3 hingga -52 cm di bawah permukaan tanah, tetapi pada musim terkering bisa turun hingga -169 cm. Sebaliknya, hutan memiliki muka air rata-rata -5cm sepanjang tahun, dengan ketinggian air di atau di atas permukaan tanah hampir sepanjang tahun, dan turun menjadi hanya -25cm di musim terkering. Kita tahu bahwa drainase bisa jauh lebih dalam di perkebunan komersial – tetapi hasil ini menunjukkan bahwa permukaan air bisa jauh lebih tinggi dan ini dapat mendukung produksi kelapa sawit petani kecil.

Temuan penting lainnya adalah bahwa spesies burung yang ditemukan di perkebunan kelapa sawit sangat berbeda dengan yang ada di hutan. Kami hanya menemukan setengah dari jumlah total spesies burung pada perkebunan sawit dibadingkan di hutan, dan jenis burung sangat berbeda di kedua habitat tersebut.

Burung-madu belukar (Chalcoparia singalensis) (Foto: Panji Gusti Akbar).

Restorasi lanskap gambut – menatap masa depan konservasi hutan dan budidaya lahan gambut

Ada pertanyaan besar tentang masa depan budidaya di lahan gambut yang didrainase. Kita tahu bahwa ketika air dikeringkan dari gambut, tanah akan susut saat gambut terurai. Lahan gambut pada umumnya terletak di dataran rendah dan pesisir, sehingga pada akhirnya lahan tersebut mudah tergenang air secara permanen dan tidak lagi cocok untuk budidaya. Oleh karena itu, restorasi hutan merupakan salah satu pilihan dalam jangka panjang, tetapi akan membutuhkan benih dan penyebar benih. Fragmen hutan yang tersisa merupakan sumber penting dari keduanya.

Drainase di lahan gambut yang dibudidayakan dapat mempengaruhi hutan di sekitarnya, membuatnya rentan terhadap kebakaran, seperti yang diamati di Jambi selama tahun-tahun ENSO. Menjaga muka air tanah lebih tinggi untuk mengurangi risiko kebakaran, dapat melindungi hutan gambut yang tersisa – serta karbon dan keanekaragaman hayatinya yang disimpannya – untuk masa depan.

Studi kami menunjukkan bahwa hal ini sangat dimungkinkan tanpa berdampak negatif terhadap hasil panen kelapa sawit, dan menawarkan bukti baru untuk mendukung pengelolaan lahan gambut berkelanjutan dalam jangka panjang. Pengelolaan lahan gambut tropis untuk melindungi mata pencaharian, keanekaragaman hayati dan simpanan karbon gambut akan terus menjadi tantangan selama beberapa dekade mendatang. Data yang dikumpulkan untuk penelitian ini, termasuk tabel air, curah hujan dan data hasil, yang tersedia secara gratis oleh proyek ini, juga menawarkan kesempatan yang baik untuk memantau hasil dalam beberapa bulan mendatang untuk tim peneliti di masa depan.

Baca makalah lengkap Tidak ada bukti untuk trade-off antara keanekaragaman burung, hasil dan kedalaman muka air pada perkebunan kelapa sawit: Implikasi untuk restorasi lanskap lahan gambut tropis di Journal of Applied Ecology

2 thoughts on “Apakah upaya restorasi lahan gambut untuk mengatasi kebakaran dan kabut asap di Indonesia mempengaruhi keanekaragaman hayati dan hasil kelapa sawit di perkebunan rakyat?

Leave a comment